Minggu, 21 Desember 2014

Bila Dukun Berkedok Ustadz

Muqaddimah

Fenomena perdukunan di negeri ini sudah sangat mengenaskan. Operasi mereka sekarang pun sudah tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan bak matahari di siang hari. Kian hari mereka semakin gencar menjajakan perdukunan syirik mereka melalui berbagai media baik elektronik maupun cetak, mulai televisi, koran, hingga internet tanpa tedeng aling-aling lagi.

Masyarakat pun semakin banyak yang terkecoh. Banyak di antara mereka yang silau pada dukun sebab banyak dukun sekarang yang bergaya ustadz, habib, dan kiai, sehingga banyak di antara masyarakat kita menggandrungi para dukun serta mengetuk pintu mereka:

Pejabat yang menginginkan kelanggengan kedudukannya…

Tokoh politik yang membidik kursi panas jabatannya…

Bos yang berhasrat disegani dan terlihat berwibawa di depan karyawannya…

Bawahan yang bercita-cita naik pangkatnya…

Pedagang yang mengharapkan kelancaran rezekinya…

Pengusaha yang berkeinginan untuk menjatuhkan saingan bisnisnya…

Remaja yang ingin mengintip masa depan ‘cintanya’…

Bujangan yang mengincar wanita idamannya…

Istri yang berharap suaminya tidak melirik ‘rumput tetangga’…

Rumah tangga yang bermimpi memiliki keturunan di tengah-tengah mereka…

Siswa sekolah yang menginginkan kelulusan dalam ujiannya…

Bahkan pelacur agar laris didatangi oleh pelanggannya…[1]

Banyak di antara mereka tergopoh-gopoh datang mengetuk pintu para dukun, menghiba bantuannya. Inilah sebuah fenomena nyata di tengah-tengah kita yang menunjukkan betapa menjamurnya dunia klenik dan perdukunan di negeri kita. Realita ini sungguh aneh tapi nyata. Coba bayangkan, di zaman yang serba teknologi dan alat canggih ini ternyata klenik, mistik, dan perdukunan masih begitu lengket, bahkan pada tokoh-tokoh nasional dan pejabat tinggi. Yang maju memang teknologinya, tetapi mental dan otaknya masih terbelakang.

Lantas, apa kira-kira faktor penyebab dan pemicu utama yang menjadikan mayoritas masyarakat kita kepincut dengan propaganda sesat dukun dan paranormal (baca: para-gaknormal)?!!
Faktor Larisnya Perdukunan di Indonesia

Ada beberapa faktor yang menjadikan perdukunan begitu marak di Indonesia, di antaranya adalah:
Latar belakang bangsa Indonesia yang masih mewarisi keyakinan melekat animisme dan dinamisme, atau hindu dan buddha, sehingga mudah sekali terpengaruh dengan adegan mistik dan dunia klenik, ditambah keislaman yang dianut kaum muslimin Indonesia bercorak tasawuf yang berpikir mistis dan esoteris.
Mereka tidak berpegang pada aqidah yang benar ditambah jauhnya mereka dari ilmu agama yang benar serta ulama rabbaniyyun. Mereka masih jauh dari sentuhan tauhid yang murni dan ilmu yang benar.
Adanya beberapa orang yang dianggap sebagai tokoh agama malah membela mati-matian dunia klenik dan perdukunan.
Kurang sabar dalam menerima ujian kemiskinan sehingga ingin hasil secara instan dan cepat saji.
Banyak kalangan pebisnis dan elit politik yang memanfaatkan jasa dukun untuk kelancaran usaha dan politiknya, sehingga mereka menjadi panutan orang-orang awam untuk mendatangi para dukun karena ngiler dengan kesuksesan dan keberhasilan mereka.
Jalan pintas untuk meraih kesuksesan ini dianggap paling mudah dan ringan, apalagi setelah melihat banyak bukti dan beragam cerita dari orang-orang yang berhasil dalam waktu yang singkat dengan memanfaatkan jasa dukun.
Pemerintah yang terkesan membiarkan bahkan cenderung mendukung praktik perdukunan, karena tidak ada sanksi tegas dan hukuman yang jelas buat mereka yang menyesatkan umat lewat dunia klenik dan perdukunan.
Salah kaprah dalam memandang sosok dukun atau kiai sakti. Mereka menjadikan orang pintar (baca: orang gak-pintar), paranormal (baca: para-gaknormal) sebagai tempat bertanya dan mencurahkan keluh kesah dan tempat bersandar serta bergantungnya layaknya seperti Tuhan, padahal tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan mudarat atau mengubah nasib kecuali hanya Allah semata.
Mayoritas masyarakat lebih percaya kepada wejangan dan titah dukun ketimbang para ulama yang memahami al-Qur‘an dan as-Sunnah. Orang ingin cepat mendapat jodoh, sembuh dari penyakit, cepat kaya, naik pangkat, semuanya datang kepada dukun. Seolah-olah mereka adalah serba bisa dan serba mampu mengatasi masalah. Semua itu mereka menganggap sebagai ikhtiar (usaha dan upaya), sehingga sering mereka menggunakan trik “Ini ‘kan hanya ikhtiar, yang menentukan ‘kan Tuhan”. Sebuah trik yang sangat efisien untuk memperdayai orang-orang bodoh.[2]
Definisi Dukun

Dukun (kahin) adalah orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib dan memberikan kabar kepada manusia tentang kejadian yang ada di alam semesta. Di kalangan orang-orang Arab dahulu banyak dukun yang mengklaim diri mengetahui banyak perkara gaib.[3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Al-kahanah (perdukunan) ialah pekerjaan mengaku tahu tentang ilmu gaib seperti mengabarkan tentang apa yang akan terjadi di muka bumi dengan bersandar kepada sebab tertentu yang berasal dari informasi jin yang mencuri kabar langit dari perkataan malaikat kemudian hasilnya disampaikan ke telinga dukun.”[4]

Dalam praktiknya, para petualang dunia klenik dan dukun mempunyai aneka ragam sebutan yang berbeda-beda di setiap daerah dan negara; ahli metafisika menurut ilmiahnya, paranormal menurut istilah media, dukun menurut istilah kampungnya, orang pintar menurut istilah orang bodohnya, kiai karomah menurut kaum ilmuwan Islamnya, orang tua menurut kaum abangan, kiai khos menurut istilah santrinya, atau wali berkaromah menurut istilah tasawufnya. Nama boleh saja berbeda-beda, namun hakikatnya sama, sama-sama menyimpang dan merusak aqidah yang benar.
Tanda-Tanda Dukun

Agar masalah ini semakin jelas dan orang orang-orang awam tidak mudah terkecoh, maka perlu disampaikan secara detail ciri-ciri dukun sehingga kita bisa selamat dari tipu muslihat mereka. Tanda-tanda dukun yaitu:
Suka menanyakan nama pasien, tanggal lahir, dan nama orang tuanya.
Suka mengambil sesuatu yang bisa dipakai pasien, seperti baju, peci, sapu tangan, dan lain-lain.
Terkadang meminta binatang dengan sifat-sifat tertentu untuk disembelih, kadang darahnya dioleskan kebagian-bagian tubuh yang sakit, atau dibuang ke sungai, laut, atau tempat angker.
Suka menulis rajah-rajah atau memberikan jimat-jimat.
Meminta pasien untuk membaca do’a-do’a atau mantra-mantra dalam waktu khusus dan jumlah tertentu.
Menyuruh pasien untuk memberikan sesaji berupa makanan atau minuman sebagai kelengkapan dari ritual yang harus dijalaninya.
Membaca mantra-mantra atau huruf rajah yang susah dipahami maknanya.
Memberikan bungkusan hijib atau tumbal kepada pasien yang berisi huruf dan angka-angka.
Kadang menyuruh untuk menjauhi manusia beberapa waktu dengan menyepi dan mengurung diri dalam kamar yang gelap yang disebut oleh orang awam sebagai hujbah, semedi, atau bertapa.
Kadang minta pasien untuk tidak menyentuh air selama beberapa hari, biasanya 40 hari.
Memberikan sesuatu kepada pasien untuk ditanam di dalam tanah.
Memberikan lembaran kertas kepada pasien untuk dibakar, lalu asapnya dipakai untuk mengasapi dirinya atau diseduh dalam air kemudian diminta untuk meminumnya.
Berkomat-kamit ketika membaca mantra atau do’a-do’a dengan bahasa yang tidak bisa dipahami.
Terkadang memberi tahu pasien tentang namanya, kampung halamannya, atau kesulitan yang dihadapi sebelum si pasien memberitahukannya.
Terkadang menuliskan huruf-huruf untuk si pasien di atas kertas hijib untuk dimasukkan ke dalam bejana putih berisi air, kemudian meminumnya.[5]
Dukun Hitam Dukun Putih

Seyogianya seorang muslim bersikap cerdas dalam menilai sesuatu. Hendaknya dia tidak mudah terkecoh dengan tipuan penampilan. Justru dia tetap menjadikan substansi sesuatu sebagai tolok ukur penilaian.

Dukun bukan hanya yang notabene beraliran hitam, yang biasanya ditandai dengan mengenakan belangkon atau ikat kepala dan pakaian serba hitam. Tidak lupa menyelipkan sebilah keris di pinggang serta menyalakan kemenyan dan dupa di depannya. Namun, termasuk mereka juga adalah yang menamakan diri “dukun putih”. Yang kedua ini kerap berbusana bak seorang wali, dengan serban di kepala dan jubah putih, serta tidak lupa bersenjatakan seuntai tasbih yang biji-bijinya terkadang mengalahkan besarnya bola pingpong. Mereka semua sama![6]

Sebagai dampak kebodohan umat terhadap agama Islam atau terlalu liciknya tipu muslihat seorang paranormal dalam menjalankan aksinya, dengan berkedok sebagai seorang ustadz, kiai, atau habib, atau praktik pengobatan, ritual kesesatan ini semakin tumbuh subur di tengah masyarakat. Dengan menggunakan simbol-simbol dan amalan-amalan yang berbau Islam yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur‘an, kesesatan ritual mereka semakin tidak tampak. Apalagi penampilan mereka terkesan begitu islami, misalkan dengan serban, gamis, dan berjenggot dan memenuhi ruang praktiknya dengan ayat-ayat al-Qur‘an atau tulisan Asma‘ul Husna yang dipajang di dinding, yang membuat orang awam semakin terkecoh dan tidak bisa mengelak, apalagi mengatakan bahwa pengobatan yang dilakukan si paranormal itu menyimpang, karena bacaan yang dibaca si pasien adalah lafal Islam, seperti: Bismillah, Allahu Akbar, dan sebagainya. “Bagaimana mungkin berlandaskan ayat-ayat al-Qur‘an dan tidak merugikan orang dikatakan menyimpang?” Begitu keyakinan mereka.

Ada banyak contoh ritual yang dipergunakan oleh paranormal yang berkedok sebagai ustadz, kiai, atau habib berkaromah, di antaranya adalah:
Terapi dengan amalan-amalan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari al-Qur‘an maupun sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Misalnya dengan membaca dzikir-dzikir aneh, seperti: membaca ayat-ayat surat al-Ikhlash dengan lafal kul kul kul…hu…hu hu hu… dan sebagainya dengan jumlah tertentu.
Terapi dengan menjalani ritual puasa, seperti puasa mutih, puasa 40 hari, puasa 100 hari, dan sebagainya.
Ritual memindahkan penyakit pasien kepada hewan ternak (kambing), ayam, telur ayam, dan sebagainya.
Memberi minuman air putih yang sudah dibacai mantra-mantra.
Memberikan rajah yang sudah ditulis di kertas atau di kain, yang dapat dikenakan atau dimasukkan dalam minuman atau diminum oleh pasien.
Memberikan jimat atau benda keramat, seperti: cincin, gelang, kalung, sabuk, susuk, dan sebagainya.
Transfer energi atau tenaga dalam disertai dengan dzikir dan amalan khusus.
Ruqyah jama’ah yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang kurang paham tentang perbedaan sunnah dan bid’ah.[7]
Beda Dukun dan Sihir Dengan Karomah

Para dukun dan tukang sihir banyak yang menampakkan aksi-aksi luar biasa, yang disiarkan di media massa dan layar kaca yang disaksikan oleh banyak penonton setia. Sebagian orang karena kejahilan tentang agama menilai hal itu sebagai karomah padahal hal itu adalah sihir dan penipuan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala bahwa, “Fitnah Dajjal itu tidaklah terbatas pada orang-orang yang hidup di zamannya saja, bahkan fitnah Dajjal yang sesungguhnya adalah setiap kebatilan dan penyimpangan terhadap syari’at yang dibarengi dengan keluarbiasaan. Barangsiapa percaya dengan kesesatan yang memiliki kedigdayaan tersebut maka dia terkena fitnah Dajjal. Fitnah jenis ini banyak sekali pada setiap waktu dan tempat. Namun, fitnah Dajjal yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam banyak haditsnya adalah fitnah yang paling dahsyat.”[8]

Memang, antara karomah dan sihir ada kemiripan dari sisi sama-sama keluarbiasaan dan kedigdayaan. Namun, harus diingat bahwa kedigdayaan dan keluarbiasaan yang muncul pada seseorang tidak mesti menunjukkan kebaikan. Akan tetapi, kebaikan seseorang harus diukur dengan barometer syari’at. Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia shalih dan baik?!! Jadi, dalam hal ini harus dibedakan antara karomah dan istidraj. Karomah adalah keluarbiasaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir, dan para Dajjal, maka hal itu disebut istidraj dan tipu daya Iblis.

Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala telah menyingkap kedok mereka:

ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ : حَدَّثَنَا يُوْنُسُ ، قُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ : صَاحِبُنَا اللَّيْثُ يَقُوْلُ : لَوْ رَأَيْتُ صَاحِبَ هَوَى يَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ مَا قَبِلْتُه ُ. قَالَ : قَصَّرَ ، لَوْ رَأَيْتُهُ يَمْشِيْ فِي الْهَوَاءِ لَمَا قَبِلْتُهُ

Ibnu Abi Hatim berkata: Menceritakan kepada kami Yunus: Aku berkata kepada Syafi’i: Kawan kita Laits mengatakan, “Seandainya saya melihat pengekor hawa nafsu berjalan di atas air, saya tidak akan menerimanya.” Syafi’i berkata, “Dia masih kurang, seandainya saya melihatnya dapat berjalan di udara, saya tidak akan menerimanya.”[9]

Alangkah indahnya ucapan seorang penyair:

إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيْرُ                             وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ يَسِيْرُ

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ                            فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ

Bila engkau lihat seorang dapat terbang

Dan berjalan di atas lautan

Padahal dia tidak menaati undang-undang syari’at

Maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah yang dimanjakan.

Jadi, sehebat apa pun kejadian luar biasa yang dipertontonkan para dukun tidak bisa dikatakan sebagai karomah dan pelakunya tidak bisa dikatakan sebagai wali Allah, sebab banyak perbedaan antara sihir dan perdukunan dengan karomah:
Sihir dan perdukunan terjadi dengan bantuan setan, sedangkan karomah biasanya adalah kebetulan.
Sihir dan perdukunan itu dilakukan orang fasik, sedangkan karomah dari orang shalih yang konsisten dalam beragama.
Sihir dan perdukunan melakukan pelanggaran-pelanggaran syari’at berupa kekufuran dan kejahatan, sedangkan karomah tidak mungkin demikian.[10]
Bahaya Dukun dan Perdukunan[11]

Barangkali ada sebagian kalangan yang bertanya-tanya, mengapa Islam begitu ‘keras’ dalam hal ini? Toh, para dukun tersebut hanya ingin berbuat baik kepada sesama, dengan memberdayakan ‘daya linuwih’ yang dimiliki. Lantas apa salahnya?

Sebelum menjawab kebimbangan di atas, satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam melarang suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut memuat kerusakan fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya baik di dunia maupun akhirat walaupun—barangkali—perbuatan itu mengandung beberapa manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila dibandingkan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada apa-apanya.

Segala yang berbau perdukunan maupun praktik sihir memuat berbagai sisi negatif, di antaranya:
Pertama: Demi menjalankan aktivitasnya, para dukun melakukan ritual kesyirikan dan praktik kekufuran.

Seringkali para dukun dan tukang sihir bisa melakukan atraksi-atraksi ajaib yang mencengangkan. Orang yang beriman tidak akan mudah termakan karena ia tahu bahwa sejatinya mereka telah berkolaborasi dengan setan untuk melakukan atraksi tersebut.[12]

Sementara itu, setan tidak mungkin membantu para tukang sihir dalam hal itu, kecuali setelah mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, sebagai bentuk kompensasi bantuan tersebut.[13] Semakin kufur atau syirik perbuatan yang dipersembahkan, semakin besar bantuan yang diberikan setan.[14]

Kenyataan ini bukanlah isapan jempol belaka atau fitnah murahan, melainkan fenomena tersebut diakui oleh para mantan dukun yang telah bertaubat. Mereka bersaksi bahwa untuk menggapai ‘kesaktian’ yang dimiliki, mereka diharuskan untuk melakukan kesyirikan dan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa mereka dahulunya memohon bantuan kepada Iblis, ada yang tidak menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, ada yang menempelkan lembaran-lembaran mushaf al-Qur‘an di tembok WC, dan berbagai tindak kekufuran lainnya.[15]

Adanya kolaborasi para dukun dengan setan telah dijelaskan para ulama Islam sejak dahulu kala. Sebagaimana dipaparkan antara lain oleh Imam Syafi’i (w. 204 H)[16], al-Baidhawi (w. 685 H)[17], dan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H).[18]
Kedua: Tukang ramal dan paranormal telah menabrak salah satu prinsip dasar aqidah Islam, yakni keyakinan bahwa dzat yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah Ta’ala.

Terlalu banyak fakta yang membuktikan bahwa para pelaku perdukunan telah mengklaim dirinya mengetahui hal-hal gaib. Salah satu contoh nyatanya, lihatlah apa yang bermunculan di media massa, elektronik maupun cetak, setiap datang penghujung tahun. Para dukun dan ‘spiritualis’ berlomba meramal kejadian tahun depan! Ini hanyalah satu contoh, dan masih banyak contoh lainnya yang senada. Bahkan ada pula yang berani meramal kapan datangnya hari Kiamat!

Padahal dalam al-Qur‘an, begitu gamblang dijelaskan bahwa pengetahuan tentang hal gaib hanyalah dimiliki Allah Tabaraka wa Ta’ala, Rabb semesta alam.

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ ۚ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.” (QS an-Naml [27]: 65)

Dan masih banyak ayat lain serta hadits nabawi yang senada.
Ketiga: Pergi ke dukun dan paranormal membentuk mentalitas pemalas dalam diri seseorang.

“Pemikiran yang mistik mencerminkan mentalitas jalan pintas. Orang yang tidak mau kerja keras, tidak mau berencana, dan hanya mengharapkan solusi dengan cara gaib. Mistik membuat orang malas, tidak ulet, dan tidak bermental tangguh.”[19]

Islam menginginkan umatnya ulet, tangguh, rajin bekerja, bersungguh-sungguh dalam berusaha, serta tidak bergantung pada sesuatu yang fiktif dan terbuai dengan angan-angan kosong. Islam juga sangat membenci karakter pemalas. Karena itu, di antara do’a yang kerap dipanjatkan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan kepada-Mu dari ketidakberdayaan, kemalasan, sifat pengecut, dan lanjut usia. Aku memohon perlindungan-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Serta aku memohon perlindungan-Mu dari adzab kubur.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu)
Keempat: Menjadi musuh dan selalu dicurigai masyarakat.

Dukun dan orang yang suka memakai jasanya akan selalu dicurigai dan dibenci oleh masyarakat umum. Terlebih lagi pada saat terjadi musibah yang menimpa seseorang dengan ciri-ciri yang tidak wajar, maka hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan, dan seringkali tuduhannya diarahkan kepada para dukun dan orang yang menggunakan jasa dukun. Akibatnya, sering kita jumpai sebagian masyarakat bertindak main hakim sendiri terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan praktik perdukunan.
Kelima: Memotivasi orang untuk berbuat maksiat.

Cobalah renungkan dengan baik, bukankah orang tawuran agar menang meminta jimat dan ilmu kebal kepada dukun, wanita pelacur supaya laris meminta ilmu pengasihan kepada dukun, pencuri dan perampok agar lancar dalam menjalankan misinya diberi ajian sirep oleh dukun, dan bandar judi supaya lancar dan sukses bisnis terkutuknya datang kepada dukun, bahkan para dukun memberikan ramalan nomor togel kepada orang-orang awam.
Keenam: Perdukunan menzalimi orang lain.

Seringkali dukun menyakiti orang lain dengan santet, teluh, pelet, jengges, dan sejenisnya atau mengguna-gunai orang sehingga hidupnya hancur. Jelas ini adalah kezaliman yang tidak akan Allah biarkan begitu saja.
Ketujuh: Praktik perdukunan adalah usaha yang membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam haditsnya:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

“Hindarilah tujuh perkara yang menghancurkan.” Mereka bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir[20], membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang haq, memakan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina wanita mukminah yang terjaga dari dosa dan tidak tahu menahu tentangnya.” (HR al-Bukhari: 2615 dan Muslim: 258)
Kedelapan: Dukun memperolok-olok agama Allah.

Di antara dukun ada yang menulis al-Qur‘an dengan kotoran manusia atau darah haid, ada pula yang menjadikannya sebagai alas kaki ketika buang hajat, menduduki al-Qur‘an, atau menulis salah satu surat al-Qur‘an dengan cara terbalik seperti mantra yang dikenal dengan mantra Qulhu sungsang (surat al-Ikhlash dibaca secara terbalik).

Kalau orang yang mengolok-olok simbol Islam atau menghina ajaran al-Qur‘an masuk dalam kekufuran, maka bagaimana dengan dukun yang melakukan demo penghinaan dibiarkan dan tidak dianggap melakukan perbuatan kufur?!!

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا۟ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَـٰنِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍۢ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةًۢ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ مُجْرِمِينَ ﴿٦٦﴾

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS at-Taubah [9]: 65–66)
Kesembilan: Mendatangi dukun dan mempercayainya termasuk kekufuran terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan pernyataan:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[21]
Hukum Mendatangi Dukun

Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara umat Islam berbondong-bondong datang ke dukun untuk mengadukan berbagai macam masalah problem hidup mereka, padahal sejak empat belas abad lalu, panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengingatkan dengan tegas:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ؛ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi peramal lalu ia bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.” (HR Muslim 4/1751 no. 2230 dari sebagian istri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)

Hadits lain memberikan pernyataan yang lebih keras lagi:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[22]

Hadits-hadits di atas sangat jelas menunjukkan larangan perdukunan dan mendatangi serta membenarkan dukun, bahkan ancamannya sangat berat. Oleh karenanya, para ulama sepakat bahwa perdukunan dan sihir adalah haram dan dosa besar dengan kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Mempelajari sihir dan mengajarkannya hukumnya haram. Kami tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ulama.”[23] Hal senada juga disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.[24]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Adapun mendatangi peramal, dukun, paranormal, dan sejenisnya dari orang-orang yang mengaku mengetahui hal gaib, maka hukumnya adalah haram dan merupakan kemungkaran yang tidak boleh. Membenarkannya lebih mungkar lagi bahkan termasuk cabang kekufuran.” Kemudian beliau membawakan beberapa hadits di atas lalu kata beliau, “Hadits-hadits serupa banyak sekali. Maka wajib bagi kaum muslimin untuk waspada dan tidak bertanya kepada para dukun, peramal, dan sejenisnya yang menipu kaum muslimin, dengan nama apa pun baik dengan nama pengobatan alternatif atau lainnya dari nama-nama yang semu.”[25]

Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Ketahuilah bahwa perdukunan dan mendatangi para dukun serta mempelajari perdukunan, meramal bintang, meramal dengan kerikil atau rambut, semua itu hukumnya haram dan mengambil upahnya haram berdasarkan nash yang shahih.”[26]

Berikut ini kami nukilkan Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pusat berkenaan dengan permasalahan di atas, yang diputuskan pada Musyawarah Nasional MUI VII:

Fatwa tentang Perdukunan (Kahânah) dan Peramalan (’Irâfah)
Segala bentuk praktek perdukunan (kahânah) dan peramalan (’irâfah) hukumnya haram.
Mempublikasikan praktek perdukunan (kahânah) dan peramalan (’irâfah) dalam bentuk apa pun hukumnya haram.
Memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala praktik perdukunan (kahânah) dan peramalan (’irâfah) hukumnya haram.[27]

Fatwa telah diputuskan. Tinggal komitmen kita sebagai umat Islam di negeri ini mematuhi dan menaati keputusan yang dibuat forum tertinggi umat Islam di negeri ini. Jangan sampai keputusan komisi fatwa itu hilang maknanya, lantaran ketidakseriusan kita sendiri sebagai umat Islam untuk menyebarkan dan menerangkannya kepada masyarakat.[28]
Jihad Melawan Perdukunan

Merupakan tugas bagi setiap kita semua untuk bersama-sama berjuang membasmi segala praktek perdukunan, sihir dan apapun bentuknya karena merusak agama, harta, kesehatan dan akal. Al-Qurthubi mengatakan: “Wajib bagi setiap orang yang mampu, baik dai atau lainnya untuk mengingkari orang yang melakukan perbuatan perdukunan di pasar dan mengingkari dengan keras terhadap siapa saja yang mendatangi dukun. Janganlah kita tertipu dengan berita mereka atau julukan mereka sebagai ahli ilmu. Sebab, sebenarnya mereka bukanlah ahli ilmu tetapi orang yang bodoh, karena mereka masih melakukan perbuatan terlarang.”[29]

Berikut beberapa langkah untuk jihad melawan perdukunan:
Menjelaskan bahaya sihir dan perdukunan terhadap aqidah serta ancaman bagi yang mendatangi para dukun.
Membongkar kedok para tukang sihir dan dukun serta menguak kebohongan dan penipuan mereka.
Memperkokoh ilmu syar’i serta menyebarkannya dengan berbagai sarana modern baik cetak maupun layar kaca, lewat lisan dan tulisan.
Mendukung kegiatan-kegiatan yang memperkokoh keimanan.
Peran para guru, ustadz, da’i, dan kiai dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang masalah ini.
Menyebarkan fatwa-fatwa majelis ulama yang resmi dan diakui seputar masalah ini, termasuk dalam hal ini fatwa MUI.
Memperkokoh aqidah dan tawakal yang kuat bahwa hanya Allah yang mengatur alam semesta dan mengetahui hal-hal gaib.
Menangkap dan menghukum para tukang sihir sehingga membuat mereka jera.
Memberikan nasihat dan teguran kepada media-media yang menayangkan atau mempromosikan sihir dan perdukunan.[30]

Perlu diketahui bahwa sihir dan perdukunan itu merebak pada zaman dan tempat yang penuh dengan kejahilan dan jauhnya manusia dari agama Allah, manakala manusia dalam kondisi sangat lemah aqidah dan imannya kepada Allah sehingga bergantung kepada para dukun dan tukang sihir.

Dari sini, kami menyeru kepada para ustadz, para juru dakwah, dan penuntut ilmu agama Islam: “Marilah kita bersama-sama menegakkan dakwah tauhid, memperkokoh tauhid yang murni di hati masyarakat sehingga mereka hanya bergantung dan meminta pertolongan kepada Allah semata serta membongkar kedok para dukun tersebut dan menyingkap kebohongan mereka. Sungguh ini adalah tanggung jawab yang ada di pundak setiap para dai di negeri ini.”

Dan kepada para pemerintah negeri ini, hendaknya mereka memburu dan menangkap para dukun yang merusak itu serta memberikan hukuman kepada mereka, tentunya setelah proses dan penyelidikan kebenaran bahwa mereka betul-betul melakukan kasus perdukunan tersebut.[31] Sungguh, hukuman bagi dukun dan tukang sihir dalam Islam sangat keras.[32] Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Telah shahih dari tiga sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukuman tukang sihir adalah dibunuh.” Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama karena dia dianggap murtad dan kafir.[33] Dan jika sihirnya sampai derajat menewaskan korban maka tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa dia dihukum mati (qishash) dan hukuman membuat murtad dan membuat kerusakan bagi ulama yang mengafirkan.[34]

Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi Rahimahullahu Ta’ala, “Mereka yang melakukan perbuatan yang keluar dari al-Kitab dan Sunnah yang shahih bermacam-macam, di antara mereka adalah tukang pendusta dan penipu yang sebagian mereka menampakkan kepatuhan jin kepadanya, atau kalangan supernatural yang mengaku tahu kegaiban dari kalangan para penganut tarekat yang gemar menipu. Oleh karena itu, mereka berhak menerima hukuman berat yang membuat mereka dan orang-orang sejenisnya jera untuk melakukan manipulasi. Bahkan di antara mereka sudah ada yang pantas dihukum mati seperti yang mengaku nabi dengan atraksi sulapnya yang penuh khurafat atau bertujuan mengubah syari’at.”[35]

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar mengokohkan aqidah dan iman kita serta menjauhkan kita semua dari kejahatan dan keburukan sihir dan perdukunan. Dan kita memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk kepada para dukun untuk segera bertaubat, sebagaimana kita memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan kepada pemimpin kita untuk memburu dan menghukum para dukun dengan seberat-beratnya sehingga membuat lainnya jera.

Oleh: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

[1]          “Perdukunan, No Way”, makalah Khutbah Jum’at Ustadz Abdullah Zaen, dimuat di Majalah kita Al Furqon edisi 116.

[2]          Membongkar Dunia Klenik dan Perdukunan Berkedok Karomah hlm. 99–101 oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin. Tulisan kami ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya. Kami sarankan kepada pembaca untuk menelaah buku beliau tersebut karena sangat penting dan bagus dalam masalah ini. Wallahu A’lam.

[3]          Ma’alimu Sunan 3/501 oleh al-Khathabi

[4]          Fathul Bari 10/243–244

[5]          Lihat ash-Sharim al-Battar hlm. 77–78 karya Wahid Abdussalam Bali, Biladul Haramain wal Mauqif Sharim minas Sihri wa Saharah hlm. 23–25 oleh Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, as-Sihru Bainal Madhi wal Hadhir hlm. 95 oleh Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Fathul Haqqil Mubin hlm. 130–131 oleh Dr. Abdullah ath-Thayyar dan Sami al-Mubarak.

[6]          Pembahasan lebih lanjut baca di buku Dukun Hitam Dukun Putih – Menguak Rahasia Kehebatan Sekutu Setan, karya Abu Umar Abdillah.

[7]          Membongkar Dunia Klenik dan Perdukunan Berkedok Karomah hlm. 108–109 oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin

[8]          Bughyatul Murtab hlm. 483 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Fitnah Dajjal hlm. 30 oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.

[9]          Siyar A’lam Nubala‘ 3/3282 oleh adz-Dzahabi

[10]        Lihat Fathul Bari 10/223 oleh Ibnu Hajar, al-Furqan Baina Auliya‘ ar-Rahman wa Auliya‘ asy-Syaithan hlm. 61–64 oleh Ibnu Taimiyyah, Karamatul Auliya‘, Dirasah Aqadiyyah hlm. 237–245 oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-’Anqari.

[11]        Dinukil dari “Perdukunan, No Way”, makalah Khutbah Jum’at Ustadz Abdullah Zaen, dimuat di Majalah Al Furqon edisi 116 dan Membongkar Dunia Klenik dan Perdukunan Berkedok Karomah hlm. 139–148 oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin.

[12]        Lihat Kitab an-Nubuwwat karya Ibnu Taimiyyah 2/830–831.

[13]        Lihat al-Furqan Baina Auliya‘ ar-Rahman wa Auliya‘ asy-Syaithan karya Ibnu Taimiyyah hlm. 331–332.

[14]        Lihat at-Tafsir al-Qayyim hlm. 581.

[15]        Lihat Majalah Ghoib, edisi khusus “Dukun-dukun Bertaubat” (hlm. 12–14, 17, 19, 20, 22, 43), edisi 32 (hlm. 5), edisi 56 (hlm. 11), edisi 70 (hlm. 8).

[16]        Lihat Tafsir al-Qurthubi 2/274.

[17]        Lihat Tafsir al-Baidhawi hlm. 21.

[18]        Lihat Fathul Bari 10/222.

[19]        Perkataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana dalam buku Harus Bisa – Seni Memimpin ala SBY karya Dr. Dino Patti Djalal hlm.127.

[20]       Perdukunan masuk dalam kategori hukum sihir karena sama-sama mengabarkan hal yang samar bagi yang lain, mengaku ilmu gaib seperti tukang sihir, sama-sama khurafat dan bergantung kepada selain Allah. (Lihat as-Sihru Bainal Haqiqah wal Khayal hlm. 176 oleh Dr. Ahmad al-Hamd, as-Sihru Bainal Madhi wal Hadhir hlm. 12 oleh Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.)

[21]        HR al-Bazzar 5/315 no. 1931 dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu dan sanadnya dinilai shahih oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/393 dan al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2/956

[22]        HR al-Bazzar 5/315 no. 1931 dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu dan sanadnya dinilai shahih oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/393 dan al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2/956

[23]        Al-Mughni 8/151

[24]        Fathul Bari 10/224

[25]        Iqamatul Barahin ’ala Man Istaghatsa bi Ghairillahi Au Shaddaqa Kahanah wal Arrafin hlm. 34–35

[26]        Raudhah Thalibin 9/346

[27]        Himpunan Fatwa MUI hlm. 91, edisi ketiga 2010

[28]        Majalah Ghoib edisi 66 hlm. 44

[29]        Al-Jami’ li Ahkamil Qur‘an 2/44

[30]        Dari seminar “Sihir dan Perdukunan Modern Gaya Baru” di Kuliah Syari’ah wa Ushuluddin di Universitas Qashim 17/5/1428 H, sebagaimana dalam as-Sihru Bainal Madhi wal Hadhir hlm. 96–97 oleh Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

[31]        Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 2/763 oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, Biladul Haramain Syarifain wal Mauqif Sharim minas Sihri was Saharah hlm. 54–57 oleh Dr. Abdullah ath-Thayyar.

[32]        Sungguh mengherankan sekali. Beberapa saat lalu ada Rancangan Undang-Undang tentang sihir dll., padahal di negeri ini telah subur dan banyak kasus sihir dan perdukunan yang telah meresahkan masyarakat sejak dahulu kala. Kenapa sampai sekarang belum ada Undang-Undang, padahal korban sudah banyak sekali?!!

[33]        Tafsir al-Qur‘anil Azhim 1/144 oleh Ibnu Katsir

[34]        Lihat secara lebih detail dalam as-Sihru Bainal Madhi wal Hadhir hlm. 29 oleh Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

[35]        Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 2/763–764 oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi

Sumber :

http://abiubaidah.com/bila-dukun-berkedok-ustadz.html/

Fatawa Asy-Syaikh Rabi’ Seputar Jin dan Ruqyah

Fatwa-Fatwa Syaikh Rabi’ -hafizhahullah-
Seputar Masalah Ruqyah dan Jin

1.    Apakah boleh berdialog dengan jin yang muslim (dalam ruqyah)?
Jawab: Tidak boleh, darimana kamu tahu bahwa dia itu muslim? Boleh jadi dia adalah munafik atau kafir, namun ia mengatakan, “Saya muslim”. Kamu tidak mengetahui hakikat jin dan engkau tidak pula mengetahui perkara yang ghaib. Maka hal tersebut tidak diperbolehkan -semoga Allah memberkahimu-.
Jika ada seorang manusia di hadapanmu yang mengaku muslim, maka terkadang engkau akan menghukuminya (sebagai seorang muslim) sebagaimana lahiriahnya. Engkau melihatnya melakukan shalat dan ibadah lainnya, namun engkau tetap tidak mengetahui tentang dirinya (secara bathiniah yang tersembunyi darinya). Akan tetapi jin yang merasuk ke dalam tubuh manusia, kemudian dia berkata kepadamu, “Saya muslim”, padahal boleh jadi dia itu fajir.
Maka tidak ada sedikitpun alasan untuk memberatkan diri (takalluf) dalam masalah ini (ruqyah), apa yang membuat kamu menjadi takalluf wahai saudaraku? Masih banyak rumah sakit yang terbuka. Dan apabila orang yang sakit itu mau bersabar, maka Allah -Azza wa Jalla- akan memberikan pahala kepadanya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah didatangi oleh seorang yang buta, ia meminta agar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendoakan kesembuhan baginya, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ
“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja”.
Dan seorang perempuan pernah datang kepada beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ditimpa penyakit ayan, maka berdo’alah kepada Allah untuk (kesembuhan)ku”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadanya:
إِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ لَكِ، وَإِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ
“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja, maka engkau akan memperoleh surga”.
Maka dalam kejadian di atas tidak terdapat sama sekali sifat takalluf  (dari Nabi-pent.) seperti (sikapmu) ini. Apakah engkau lebih penyayang dibandingkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-?!`.
Allah telah menguji para hambanya dengan berbagai macam penyakit:
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ
“Tidak satupun menimpa seorang mukmin berupa musibah, kesedihan, penyakit, sampai duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya”.
Maka seorang mukmin yang ditimpa penyakit, dia akan diberikan pahala jika dia bersabar, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,” Yakni: Seperti penyakit-penyakit ini. “Mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun [Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan hanya akan kembali kepada-Nya]”. (QS. Al-Baqarah: 155-166)
Dan Ar-Rasul -‘alaihis sholatu wassalam-  bersabda tentang 70.000 orang yang masuk surga (tanpa hisab):
لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka tidak minta diruqyah, tidak pula berobat dengan besi panas, dan mereka bertawakkal hanya kepada Rabb mereka”.
Dia tidak minta dari siapa pun (agar dirinya) diruqyah. Orang yang pergi meminta ruqyah, maka hal tersebut mengurangi keimanan dan ketawakkalannya kepada Allah -Azza wa Jalla- . Maka ajarilah dia dan katakan kepadanya, “Bersabarlah kamu, dan janganlah minta diruqyah, serta berserah dirilah kepada Allah dan berdoalah kepada-Nya, karena ruqyah merupakan bentuk permintaan (doa kepada Allah). Karenanya, hal tersebut (meminta untuk diruqyah) pasti memberikan pengaruh dalam masalah ketawakkalan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Oleh karena itulah, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Mereka tidak minta diruqyah”, karena minta diruqyah akan mengurangi keimanan dan ketawakkalannya (kepada Allah).
Seorang mukmin dalam kehidupannya akan diuji dengan berbagai macam penyakit, bencana, dan musibah, agar Allah mengangkat derajatnya jika ia bersabar -semoga Allah memberkahi kalian-.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Maka barangsiapa yang bersabar, maka baginyalah (pahala) kesabaran dan barangsiapa yang marah, maka baginya kemurkaan (dari Allah)”.
Maka seorang mukmin wajib untuk bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang diangkat naik ke derajat keridhaan dengan ketetapan Allah -Azza wa Jalla-, maka itu adalah jenjang yang paling tinggi dalam keimanan, insya Allah. Maka kesabaran merupakan perkara yang wajib, sedangkan keluh kesah adalah perkara yang haram. Tidak boleh berkeluh kesah terhadap ketentuan-ketentuan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا
“Katakanlah sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah: 51)
Jika Allah menghendaki ketidaksembuhanmu, maka ruqyah ataupun selainnya, tidaklah bermanfaat bagimu. Segala sesuatu berada di bawah keinginan dan kehendak Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Seorang mukmin harus menyerahkan urusannya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-  dan wajib atasnya untuk beriman terhadap takdir dan ketentuan Allah, serta dia bersabar di atasnya -semoga Allah memberkahimu-.
Apabila Allah memberikan taufiq, untuk mengangkatnya ke derajat ridha, inilah perkara yang dicari -semoga Allah memberkahimu-. Apabila dia suka untuk berobat, maka dia berobat dan apabila dia minta untuk diruqyah, maka hal tersebut bukanlah perkara yang haram, akan tetapi ia merupakan perkara yang makruh dan akan mengurangi derajatnya (di sisi Allah) -semoga Allah memberkahimu-.
Adapun orang yang bersedia untuk meruqyah dan ia melakukannya supaya dirinya menjadi terkenal, bahkan sebagian mereka menyebarkannya pada selebaran-selebaran dan sebagian mereka membangun perkantoran-perkantoran (klinik ruqyah). Mereka itulah para penipu yang menonjolkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan tugasnya. Demi Allah, orang yang mengangkat dirinya untuk meruqyah adalah orang yang tertuduh, tertuduh dalam agamanya. Apa yang mengantarkannya untuk melakukan hal ini? Engkau wahai saudaraku, adalah salah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Apakah dia (ruqyah) khususiyah (kemampuan khusus) yang datang kepadamu? Di dalamnya ada yang lebih bertakwa, lebih afdhal dan lebih alim daripadamu. Bagaimana khususiyah ini datang hanya untukmu, kemudian engkau tidak mau mencukupkan dengan ruqyah syar’iyah, bahkan engkau pergi kepada sesuatu dan hal-hal yang engkau bisa terpedaya olehnya? Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita seluruhnya.

2.    Bolehkah meruqyah orang kafir?
Jawab: Boleh. Abu Said -radhiallahu ‘anhu- pernah meruqyah orang yang kafir, tatkala beliau dan sahabat yang lain keluar dalam suatu perjalanan dan melewati perkampungan Arab. Awalnya mereka meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kaum tersebut disengat (kalajengking), maka penduduk kampung tersebut mendatangi para shahabat dan berkata, “Sesungguhnya pemimpin kaum disengat (kalajengking), apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah? Sahabat berkata, “Demi Allah kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tidak menjamu kami, maka kami tidak akan meruqyahnya sampai kalian memberikan upah kepada kami”. Maka merekapun memberi upah beberapa ekor kambing. Kemudian salah seorang sahabat (Abu Sa’id) meruqyah pemimpin mereka dengan Al-Fatihah, sampai akhirnya orang itu sembuh dan lepas dari racun tersebut. Orang-orang yang meruqyah tersebut harus ikhlas, tulus dalam hatinya -semoga Allah memberkahi kalian- Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- membenarkan ruqyah (Abu Said) tersebut.
Sekarang kebanyakan orang yang meruqyah, mereka mengambil upah dan harta dari manusia -sekalipun mereka belum bisa memberikan faedah kepada (baca: menyembuhkan) mereka-. Seorang boleh mengambil upah atas ruqyah dengan syarat sembuhnya orang yang diruqyah, sebagaimana keterangan dalam hadits, “Seketika itu pula pemimpin kampung itu sembuh dan lepas dari ikatan, maka para sahabatpun mengambil upahnya”. Andaikata dia tidak sembuh, maka mereka (para shahabat) tidak mungkin bisa mengambil upah.
Sekarang ini orang yang meruqyah tamak terhadap harta, diapun mendatangi orang yang sakit dengan penyakitnya dan orang yang tertimpa musibah dengan musibahnya. Sekalipun dia tidak menyembuhkannya dia tetap mengambil hartanya (upah ruqyahnya). Maka harta/upah yang dia ambil tersebut adalah harta/upah yang haram. -semoga Allah memberkahimu-

3.    Apa hukum membacakan Al-Qur’an pada air?
Jawab: Tidak sepantasnya dilakukan, walaupun para ulama berpendapat dengannya, namun tidak ditemukan dalil atasnya. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah melakukannya, demikian pula para shahabat -semoga Allah memberkahi kalian-. Mereka yang membolehkan hal tersebut tidak mempunyai satu dalil pun (yang bisa dipegang), sementara mereka mengetahui bahwa kami tidak akan menerima suatu pendapat, kecuali disertai dengan dalilnya. Maka setiap orang diambil perkataannya dan ditolak kecuali Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

4.    Bolehkah orang yang belum benar bacaan Al-Qur’annya meruqyah?
Jawab: Boleh baginya untuk meruqyah jika dia merasa berat kepada hal tersebut. Akan tetapi, wajib atasmu untuk mempelajarinya (membaguskan bacaannya). Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an kelak akan bersama dengan para malaikat yang mulia lagi baik, dan orang yang membacanya dengan terbata-bata (belum lancar) serta dia merasa berat membacanya, maka dia akan menapat dua pahala”.
Terkadang seseorang tidak mampu untuk memperbaiki bacaannya, maka dia membacanya dan berusaha untuk memperbaiki bacaannya.

5.    Apakah eksperimen dalam ruqyah diperbolehkan?
Jawab: Tidak ada eksperimen dalam ruqyah, hal tersebut (eksperimen) hanya ada dalam pengobatan (kedokteran) yang mana dia memang dibangun di atas hal tersebut. Adapun dalam ruqyah, maka yang terbaik adalah seorang muslim hanya terbatas dengan ruqyah yang disyariatkan. Adapun melakukan eksperimen, maka -pertama- engkau tidak mengetahui akan hal tersebut, dari mana permikiran terebut muncul di benakmu?

6.    Apa makna hadits:
لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
“Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”.
Jawab: Ya betul, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan. Ruqyah dalam perkara-perkara yang baik untuk menghilangkan dan meringankan penderitaan seseorang. Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali jika engkau berdoa dan memohon hanya kepada Allah, kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan doa-doa. Inilah yang dibolehkan dalam syariat Islam.
Adapun sebagian orang mereka meruqyah dengan sihir, yakni meruqyah dengan kalimat-kalimat yang di dalamnya mengandung perkara kesyirikan, demikian pula mereka meruqyah dengan kalimat-kalimat ajam (bukan bahasa Arab) yang di dalamnya mengandung kebathilan dan kesyirikan. Sementara ruqyah harus dengan bahasa Arab dan yang melakukannya harus dari kalangan orang yang bertakwa, shalih, yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika dia (orang yang meruqyah) berlama-lama dalam meruqyah dengan menambah doa-doa yang disyariatkan, maka hal ini tidak apa-apa dan diperbolehkan. Misalnya dia membaca doa ruqyah yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
بِسْمِ اللهِ، رَبَّ النَّاسِ ! أَذْهِبِ الْبَأْسَ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Dengan nama Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia. Engkaulah yang Maha Penyembuh, tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah penyembuhan yang tidak menimbulkan penyakit”.
Atau dia meruqyah dirinya dengan mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dengan nama Allah”.
Kemudian berdoa,
أَعُوْذُ بعِزِةَِّ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan yang kutakutkan”. (sebanyak 7 kali)
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi tatkala dia mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka Rasulullah mengatakan, “Letakanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah” -sebanyak tiga kali-, lalu ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan” -sebanyak tujuh kali-.”
Maka dia pun mengucapkan doa tersebut, lalu dia sembuh dari sakitnya. Oleh karena itu, bacaan ruqyah yang paling utama adalah Al-Qur’an kemudian hadits Nabi (dalam doa-doa yang beliau ajarkan), maka pilihlah yang paling utama darinya.
Di tengah-tengah kalian ada para peruqyah. Demi Allah, saya menasehatkan kepada para salafiyyin, untuk tidak masuk dalam perkara ini dan tidak mengangkat salah seorang pun dalam hal ini (peruqyah). Syaikh Al-Albani, Ibnu Baz dan Al-Utsaimin, apakah mereka mengangkat diri mereka untuk perkara ini? Demikian pula kaum salafi dari kalangan para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendapat petunjuk, semisal Imam Ahmad, Malik, Syafi’i, apakah mereka juga menasehatkan untuk perkara tersebut? Dimana (kedudukan) kalian (dari mereka)? Kami katakan: Ikutilah As-Salaf, ikutilah As-Salaf dan kami adalah salafiyyin, sangat jauh dari mengada-adakan hal semacam ini. Ruqyah adalah perkara yang dibolehkan, akan tetapi tidak dengan jalan yang bathil. Merekalah (salafiyyin) orang yang ittiba` dengan sebenar-benarnya ittiba` -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah perkara-perkara ini yang bisa merusak dakwah dan da’inya -semoga Allah memberkahi kalian-.
Apabila seseorang datang kepadamu dan meminta ruqyah kepadamu, maka ruqyalah dia. Atau dia pergi dan mencari orang selainmu lalu dia sembuh, maka kesembuhan itu di tangan Allah. Hendaknya dia berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla-, supaya Allah menyembuhkannya dan dia berdoa dengan doa-doa ini untuk kesembuhan bagi dirinya. Maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar dan akan memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka”. (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Penanya berkata: Kami khawatir ya syaikh, orang-orang awam akan pergi ke tukang sihir dan dukun-dukun?!
Jawab: Biarkan mereka pergi dan tidak kembali lagi. Kamu sendiri, siapa yang menuntut kamu? janganlah memberat-beratkan diri, karena jiwa, kehidupan dan agamamu akan menjadi rusak karenanya. Apakah karena mereka pergi ke tukang sihir, lalu engkau segera meruqyah dan mengangkat diri sebagai peruqyah?
Penanya: Tidak -wahai Syaikh-, akan tetapi merekalah yang datang kepadaku?!
Jawab: Tinggalkan, tinggalkanlah. Tidaklah mereka itu datang kepadamu kecuali engkaulah yang memproklamirkan diri sebagai ahli ruqyah. Tinggalkanlah perkara ini -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah manusia-manusia itu karena Allah -Azza wa Jalla-, dan janganlah engkau membebani dirimu sendiri dengan hal tersebut.
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad: 86)
Ini adalah alasan yang sama yang dikemukakan oleh orang yang pertama kali meruqyah di Madinah. Dia adalah sahabat kami, salafi yang sangat baik, dia juga mengajar di masjid Nabawi. Demi Allah, dia berhasil memberikan pengaruh banyak pemuda sufiyyah di Madinah (sehingga mereka kembali kepada sunnah, pent.), dia mendatangkan pengaruh yang lebih besar daripada dai lainnya. Kemudian syaithan pun datang kepadanya. Demi Allah, -dia dahulu meminta nasehat kepadaku sebelum dia mulai (meruqyah)- karena sungguh dia adalah termasuk sahabat dekatku-. Dia minta nasehat kepadaku dengan mengatakan, “Wahai syaikh Rabi’, saya telah mengajar fulan tentang ruqyah dan sekarang dia meruqyah dan mengambil uang (dari ruqyah) sebesar 14 ribu!!” Saya berkata kepadanya, “Saya menasehatkan engkau agar tidak masuk dalam perkara ini.” Dia berkata, “Saya khawatir manusia akan pergi ke para dukun dan tukang sihir. Saya berkata, “Demi Allah, engkau tidak akan diminta pertanggung jawaban”. Saya katakan kepadanya, “Berbuatlah sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh dai-dai yang berjuang di jalan Allah.” Seperti Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, beliau pernah datang kepada kami di suatu daerah dan kebanyakan manusia sakit di tempat tidurnya lagi tidak bisa berdiri. Apa penyebabnya? (Gangguan) jin dan semacamnya. Mereka keluar lalu mereka kerasukan jin di malam hari, di sekitar pohon-pohon, jalan-jalan dan selainnya. Sethan menguasai mereka –orang-orang yang bodoh lagi tidak memahami tauhid -. Kemudian beliau (Syaikh Al-Qar’awi) datang dan menyebarkan tauhid, tidak ada ruqyah dan tidak ada sesuatupun -semoga Allah memberkahi kalian-, sampai akhirnya semua masalah itu berakhir, seluruhnya berakhir tatkala tauhid dan ilmu telah tersebar. Tatkala ilmu dan tauhid telah tersebar, semua ini hilang dan sirna. Tapi tatkala tersebar dan merata, maka akan banyak bermunculan banyak tukang sihir, dukun, setan-setan dan seterusnya, yang mereka (tukang sihir, dukun dan setan) saling tolong menolong di dalamnya. Maka saya menasehatkan kepadanya agar dia beramal, sebagaimana amalnya orang-orang yang mengadakan perbaikan dengan berdakwah kepada tauhid dan memerangi kesyirikan dan khurafat.

7.     Apakah boleh atau tidak, meminta bantuan kepada jin dalam melaksanakan perbuatan yang mubah lagi dibolehkan dalam syariat. Perlu diketahui bahwa dalam meminta bantuan kepada jin ini tidak ada sedikitpun amalan kesyirikan atau maksiat.
Jawab: Meminta bantuan kepada jin memberikan indikasi bahwa orang yang meminta bantuan tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan, karena mereka tidak akan membantu dirinya kecuali setelah dia kafir kepada Allah Azza wa Jalla. Apakah dengan cara dia mengencingi mushaf atau shalat ke arah selain kiblat atau shalat dalam keadaan junub. Yang jelas dia pasti telah melakukan sesuatu amalan yang mengkafirkan, setelah itu baru dia (jin) akan membantunya. Jin yang mengatakan kepadamu: “Saya muslim,” maka janganlah kamu membenarkannya karena dia adalah pendusta. Betul di antara mereka ada kaum muslimin, akan tetapi untuk menetapkan keimanannya dibutuhkan dalil-dalil.

8.    Apakah takut kepada jin termasuk dari takut tabiat atau tidak?
Jawab: Kalau takutnya secara sirr (terselubung) dan dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan manfaat dan mudharat maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Allah berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6)
Kebanyakan jenis takut kepada jin -wallahu a’lam- termasuk ke dalam jenis takut ibadah (yang seharusnya hanya diberikan kepada Allah, pent.), karena dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan mudharat dan manfaat, padahal tidak ada  yang menguasai mudharat dan manfaat kecuali Allah, bukan jin dan bukan pula manusia.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu, dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu.” sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

9.    Firman Allah, “Sesungguhnya dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian dari arah yang kalian tidak bisa melihat mereka.” Apakah tidak terlihatnya mereka bersifat mutlak, ataukah memungkinkan bagi sebagian orang bisa melihat setan-setan pada sebagian keadaan?
Jawab: Ia, hal itu adalah kenyataan. Sebagaimana kisah Abu Hurairah bersama setan, Ar-Rasul  juga pernah melihatnya dalam shalat, dan saya juga -demi Allah- telah melihat setan-setan dengan mata kepala saya sendiri. Saya pernah melihat seekor kuda yang seumur hidup saya belum pernah melihat kuda dengan bentuk seperti itu, saya bersama saudaraku melihatnya dalam safar. Kami melihat melihat kuda yang aneh lagi menakjubkan itu di tempat yang tidak ada rerumputannya dan tidak ditinggali oleh manusia.
Beliau berkata: Ketika saya di atas kendaraan antara maghrib dan isya, saya juga pernah melihat seseok tubuh telanjang dengan kepala yang tidak ditumbuhi sehelai rambut pun, tapi bukan karena habis menggundul rambutnya (yakni: Sudah dari sananya, pent.). Bentuknya aneh dan di depannya ada dua anak kecil yang keduanya mempunyai kepala yang besar tanpa rambut. Keduanya sangat kurus dan begitu pula dengan kedua betisnya, bentuknya sangat aneh.
Maka banyak orang yang telah melihat setan, walaupun kebanyakannya setan itu tidak bisa terlihat.
Akan tetapi sekarang –sayang sekali- banyak orang yang mengambil pemikiran Muhammad Abduh -murid Al-Afghani- yaitu pengingkaran akan adanya sihir dan mengingkari jin bisa terlihat. Asal pemikiran ini mereka ambil dari Muktazilah Al-Aqlaniyun, yang menjadikan akal sebagai pemutus hukum dalam hal agama dan dunia. Maka tidak ada dalil yang menafikan kalau mereka bisa terlihat sesekali, dan saya menegaskan kepada kalian bahwa saya sendiri telah melihatnya.

10.    Mereka juga mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
Jawab: Hal ini (kerasukan) adalah hal yang bisa diketahui dengan panca indera, masyhur dan mutawatir dari sejak zaman dahulu. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275) Dan Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 1-5) Kenapa dia bisa membisikkan kejahatan ke dalam dadamu? Bukankah karena dia bisa mengalahkanmu dan dia bisa masuk ke dalam tubuhmu?! Nabi  bersabda:
إِنًّّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan berjalan di dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah.”
Maka semua (yang mengikuti Muktazilah, pent.) menolak semua ayat dan hadits di atas dan menjadikan akal mereka sebagai pemutus perkara.

Sumber :

http://al-atsariyyah.com/fatawa-asy-syaikh-rabi-seputar-jin-dan-ruqyah.html

Semua Tentang Ruqyah

Semua Tentang Ruqyah

Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 3385, Ibnu Majah no. 3521, dan Ahmad no. 3433)

Ruqyah bermakna membaca, dan yang ruqyah yang terlarang dalam hadits ini adalah membaca selain dari Al-Qur`an dan doa-doa yang shahih, yang doanya mengandung ibadah (meminta bantuan dan perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّقْيَةَ مِنْ كُلِّ ذِي حُمَّةٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan ruqyah dari sengatan semua hewan berbisa.” (HR. Al-Bukhari no. 5741 dan Muslim no. 2196)

Dari Aisyah radliallahu ‘anha dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan mu’awwidzat (doa-doa perlindungan/ta’awudz) ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup beliau dengan mu’awwidzat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berkahnya kedua tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا أَوْ أُتِيَ بِهِ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk orang sakit atau ada orang yang sakit dibawa kepada beliau, beliau berdo’a: “ADZHIBIL BA`SA RABBAN NAASI ISYFII WA ANTA SYAAFI LAA SYIFAA`A ILLA SYIFAA`UKA SYIFAA`A LAA YUGHAADIRU SAQAMA (Hilangkanlah penyakit wahai Rab sekalian manusia, sembuhkanlah wahai Zat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada penyembuhan kecuali penyembuhan dari-Mu, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit setelahnya).” (HR. Al-Bukhari no. 5243, 5301, 5302, 5309 dan Muslim )

Dalam sebuah riwayat Al-Bukhari:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اشْتَكَى مِنَّا إِنْسَانٌ مَسَحَهُ بِيَمِينِهِ ثُمَّ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ …

“Apabila salah seorang di antara kami sakit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusapnya dengan tangan kanan, lalu beliau mengucapkan: ‘Adzhabil ba’sa …

Penjelasan ringkas:

Ruqyah adalah membacakan ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa perlindungan yang shahih dalam sunnah kepada orang yang sakit, yang dalam pembacaannya disertai dengan an-nafts (tiupan disertai sedikit ludah) atau membasuhkan tangan ke bagian tubuh yang terkena sakit. Ruqyah ini bisa dilakukan dengan cara apa saja sepanjang cara itu bukanlah kesyirikan. ‘Auf bin Malik Al Asyja’i berkata;

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami biasa melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah! bagaimana pendapatmu tentang ruqyah?’ beliau menjawab, “Peragakanlah cara ruqyah kalian itu kepadaku. Tidak ada masalah dengan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 4079)

Hanya saja tentunya pembolehan semua bentuk ruqyah ini, selain harus terlepas dari syirik, dia juga harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah -alaihishshalatu wassalam-. Karenanya tidak diperbolehkan seseorang memunculkan cara-cara baru dalam meruqyah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Di antara cara ruqyah yang tidak ada tuntunannya adalah: Meruqyah dengan azan, meruqyah dengan murattal, meruqyah wanita yang bukan mahramnya dengan khalwat (berduaan) atau menyentuh mereka walaupun dengan pelapis, dan ada khilaf dalam masalah membacakan Al-Qur`an pada air untuk diminum.

Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah meruqyah sebagaimana dalam hadits-hadits di atas, dan beliau pun menganjurkan untuk meruqyah. Dari Jabir -radhiallahu anhu- dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَا مِنْ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنْ الرُّقَى قَالَ فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ فَقَالَ مَا أَرَى بَأْسًا مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang melakukan ruqyah. Lalu datang keluarga ‘Amru bin Hazm kepada beliau seraya berkata; ‘Ya Rasulullah! Kami mempunyai cara ruqyah untuk gigitan kalajengking. Tetapi anda melarang melakukan ruqyah. Bagaimana itu? ‘ Lalu mereka peragakan cara ruqyah mereka di hadapan beliau. Maka beliau bersabda: ‘Ini tidak apa-apa. Barangsiapa di antara kalian yang bisa memberi manfaat kepada saudaranya maka hendaklah dia melakukannya.” (HR. Muslim no. 4078)

Hanya saja anjuran untuk meruqyah ini tidaklah menunjukkan bolehnya minta diruqyah. Karena minta diruqyah merupakan amalan yang makruh dan pelakunya akan mendapatkan kerugian karena kehilangan pahala yang besar. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda menjelaskan criteria 70.000 orang dari umatnya yang akan masuk surga tanpa hisab dan azab:

هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta untuk di ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial/pamali) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)

Adapun cara meniup dalam meruqyah, maka telah disebutkan dalam sebagian riwayat Imam Al-Bukhari di atas dari Ma’mar dia berkata: Aku bertanya kepada Az Zuhri, “Bagaimana cara meniupnya?” dia menjawab, “Beliau meniup kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya.”

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa ruqyah ini tidak terbatas hanya untuk penyakit yang tidak terlihat (sihir dan kerasukan), akan tetapi berlaku untuk semua jenis penyakit, dari penyakit yang paling ringan seperti sakit kepala sampai penyakit yang paling kronis. Dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengajarkan cara umum dalam meruqyah semua jenis penyakit yaitu: Dengan meniup atau membasuhkan tangan ke tempat yang sakit lalu membaca Al-Qur`an atau doa-doa perlindungan atau doa yang tersebut di atas atau dengan membaca:

بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ

“Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dengan nama Allah”.

Kemudian berdoa:

أَعُوْذُ بعِزِةَِّ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan yang kutakutkan”. (sebanyak 7 kali)

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi tatkala dia mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka Rasulullah mengatakan, “Letakanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah” -sebanyak tiga kali-, lalu ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan” -sebanyak tujuh kali-.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, dan selainnya)

Adapun Al-Qur`an, maka semua ayat di dalamnya bisa dibaca dalam ruqyah, karenanya tidak boleh meyakini adanya sebagian ayat yang tidak bisa dipakai meruqyah. Hanya saja memang secara nash dan kenyataan yang terjadi, ada beberapa surah dan ayat tertentu yang pengaruhnya lebih cepat terlihat dibandingkan ayat atau surah lainnya. Karenanya boleh saja mengutamakan untuk membaca ayat atau surah tertentu tersebut tapi tanpa meyakini kalau yang lainnya tidak boleh dibaca.

Berikut beberapa pertanyaan yang sering muncul seputar ruqyah:
Bolehkah peruqyah berbincang dengan jin yang merasuki seseorang?
Bolehkah meruqyah orang kafir?
Hukum membaca Al-Qur`an pada air untuk diminum dalam ruqyah.
Siapakah yang boleh meruqyah?
Apakah bereksperimen dalam cara-cara ruqyah diperbolehkan?
Peruqyah yang takut kepada jin, syirik atau tidak?
Bolehkah mendirikan klinik ruqyah? Mengingat mendirikannya akan mengundang orang datang untuk minta diruqyah, padahal minta diruqyah adalah hal yang dimakruhkan.

Lihat jawaban semua pertanyaan di atas di: http://al-atsariyyah.com/?p=97 dan di: http://al-atsariyyah.com/?p=402

Sumber :

http://al-atsariyyah.com/semua-tentang-ruqyah.html

Sabtu, 13 Desember 2014

Hadirilah Kajian Islam Ilmiyah dengan Tema : 7 Sikap Ahlussunnah Terhadap Pemerintah

~ Hadirilah Kajian Islam Ilmiyah Kota Medan dan sekitarnya ~
Bersama : Ustadz Abdurrahman Thayyib, Lc
Tema : 7 Sikap Ahlussunnah Terhadap Pemerintah
Lokasi : Masjid Dakwah USU (Jl. Dr. Mansyur - depan pintu 3 USU)
Waktu : Ahad, 28 Safar 1436 H / 21 Desember 2014 M
Pukul : 08.30 - 11.30 WIB

Cp: 0853 6123 3635 - 0813 623 6368
Diselenggarakan oleh:
Lajnah Dakwah Medan
Didukung oleh:
Kajian OnlineMedan
Rasyaad Channel

Kebutuhan Kita terhadap Tauhid Lebih Besar daripada Kebutuhan Kita terhadap Air dan Udara

Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid

Salah satu diantara keistimewaan para pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan aqidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasehat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bid’ah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bid’ah (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)

Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)

Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal seluk-beluk tauhid dengan jelas (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karya guru kami al-Ustadz Abu ‘Isa hafizhahullah, hal. 12 penerbit Pustaka Muslim cet. IV, 1430 H)

Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya ‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid.” atau, “Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain.” Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I’tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])

Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -‘alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)

Wallahu a’lam bish shawaab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber :

http://muslim.or.id/aqidah/kebutuhan-umat-terhadap-dakwah-tauhid.html